Gus Dur Bisa Me-Raga Sukma Dirinya
Dunia kewalian adalah dunia yang memiliki banyak dimensi. Dunia kewalian seringkali tidak dapat diterima nalar sehat manusia normal. Karenanya dunia kewalian seringkali pula diidentikkan dengan dunia mistis.
Biasanya para santri (penganut agama yang taat), sejak zaman Hindu, Budha hingga zaman Islam di Indonesia membedakan kepemilikan dan perilaku keilmuan mistik ke dalam dua kategori, yakni kategori ilmu putih dan ilmu hitam. Sejak dahulu kala, ilmu hitam biasa disebut untuk mensifati (mengidentifikasi) keunggulan-keunggulan para tokoh penjahat. Sedangkan kemampuan dan keistimewaan-keistimewaan para tokoh kebaikan, para pahlawan dan para manusia suci.
gt;
Kelebihan-kelebihan (maziyyah) ini ibarat “piranti lunak” yang wajib dimiliki oleh bukan hanya tokoh spiritual, namun juga para pemimpin di dalam masyarakat. Begitulah keyakinan masyarakat terpatri dengan kuat, dari yang masih berpola tradisional hingga mereka yang telah menjadi manusia modern.
Mantan Ketua Umum PBNU tiga kali berturut-turut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai salah seorang tokoh dan pemimpin bangsa, diyakini oleh banyak kalangan memiliki berbagai “piranti lunak” yang dapat dijadikan salah satu alasan untuk mengkategorikannya ke dalam lingkungan para wali. Salah satunya adalah kemampuannya untuk meraga sukma, yakni sebuah kemampuan berada di banyak tempat dalam waktu bersamaan.
Beberapa orang mengaku pernah membuktikan ilmu Raga Sukma Gus Dur ini. Berbagai cerita menyebutkan bahwa pada waktu yang sama, banyak orang mengaku bertemu dan bercengkrama dengan Gus Dur pada waktu yang sama. Salah satunya adalah cerita para Banser yang sedang menjaga Gus Dur ketika terbaring sakit di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara.
Pada sekitar tahun 1994-an, kala itu Gus Dur Sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Koja Jakarta Utara yang pada masa itu dipimpin oleh adik kandungnya, Umar Wahid. Gus Dur sedang terbaring di kamar dengan dijaga oleh dua orang Banser, seorang banser tampaknya bertindak sebagai komandan. Bila malam hari, kedua Banser ini berjaga bergiliran, salah satu tidur dan seorang lainnya terjaga.
Hingga pada suatu ketika, seorang yang bertindak sebagai komandan berkata pada temannya, “Saya keluar sebentar, tolong jaga Pak Kyai dengan baik. Tidak lama, saya segera kembali.” Dia pun segera berlalu.
“Siap!” Jawab sang Banser dengan bersemangat. Sepeninggal temannya, dia pun segera masuk ke kamar perawatan dan duduk di sebelah Gus Dur yang sedang terbaring di atas tempat tidur.
Tidak berapa lama, Gus Dur terbangun dari tidurnya dan mengajaknya keluar mencari udara segar. Dengan tertatih Gus Dur mengajaknya berziarah ke Makam Habib Husein al-Haddad di dekat pintu Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Letak makam tersebut hanya berjarak sekitar 400 meter di seberang Jalan Raya Pelabuhan di depan Rumah Sakit Koja.
Sang Banser pun dengan setia mengikuti Gus Dur yang berjalan tertatih-tatih. Seusai berziarah dan memanjatkan doa, sang Banser pun mengiringkan Gus Dur untuk kembali ke kamarnya. Setelah Gus Dur kembali beristirahat dan tidur, dia pun keluar ruangan.
Namun alangkah kagetnya ketika dia keluar ruangan. Dia mendapati temannya yang tadi keluar sedang menunggunya dengan muka masam, laksana komandan yang menunggu laporan kekalahan dari bawahannya. Dengan menghardik, sang banser yang berlaku sebagai komandan ini berkata, “Dari mana saja kamu, disuruh jaga kok malah keluyuran seenaknya.”
Dengan gelagapan sang banser menjawab, “Siap Dan. Dari Mengantar Pak Kyai berziarah.”
“Jangan buat alasan yang aneh-aneh. Saya hanya pergi sebentar, lalu kembali. Dari tadi saya lihat Pak Kyai tidur di dalam. Sementara kamu tidak ada.” Mereka pun kemudian saling berdebat dan bersitegang tentang penglihatan dan pengalamannya masing-masing.
“Cerita ini adalah ceritanya nyata yang dialami oleh temen-temen Banser di Jakarta Utara,” tutur KH Mistakhul Falah salah seorang tokoh NU Jakarta Utara kepada NU Online.
0 komentar:
Posting Komentar