"Pakungwati dan Tongkat Kayu Santeki"
Pakungwati bertarung dengan raja buaya yang menjadi sembahan Ki Salopa. Tak sengaja di dasar sungai ia menemukan kayu santeki. Dengan kayu santeki itu ia bisa mengalahkan buaya. Ki Salopa jadi dendam karena buaya sembahayan terbunuh.
Ki Salopa mencoba membunuh Pakungwati dengan menggelundungkan batu besar dari atas bukit. Namun batu itu hancur oleh pukulan kayu santeki. Ki Salopa jadi penasaran, siapa sebenarnya Pakungwati. Ternyata Pakungwati adalah putri Kian Santang, musuh bebuyutan Ki Salopa. Kian Santang mengenali kayu itu sebagai kayu santeki, dan segera menguji keampuhannya. Kian Santang menyuruh Pakungwati menjadikannya tongkat, karena kayu santeki itu berjodoh dengannya. Ki Salopa jadi nafsu untuk merebut kayu santeki itu.
Ketika Pakungwati dan ibunya (Nyai Indang Geulis) sedang mencuci di sungai, Ki Salopa berusaha mengambil kayu santeki yang diletakkan di atas batu. Namun Ki Salopa tidak berhasil mengangkat kayu santeki yang terasa sangat berat. Ki Salopa akhirnya memanggil para ular dengan sulingnya. Salah seeokor ular berhasil mencelakai Nyai Indang Geulis. Pada saat yang kritis muncul Syarif Hidayatullah menghalau para ular dengan tasbih batu safir. Dengan tasbih batu safir, Syarif Hidayatullah berhasil menyembuhkan Nyi Indang Geulis yang digigit ular dengan tasbih batu safir itu juga. Ki Salopa kalah hebat, akhirnya kabur. Ternyata Syarif Hidayatullah ingin bertemu Kian Santang.
Kian Santang mengenali tasbih batu safir Syarif Hidayatullah sebagai milik adiknya (Rara Santang) yang sudah tinggal di Mesir bersama suaminya. Ternyata Syarif Hidayatullah adalah keponakannya. Kian Santang teringat pada janjinya dulu bersama Rara Santang ketika menunaikan haji di tanah suci Makkah. Bahwa kalau mereka memiliki anak yang bebeda jenis kelamin akan dipersatukan sebagai suami istri. Rara Santang tentu saja terkejut, karena baru bertemu Syarif sudah mau dinikahkan. Nyi Indang Geulis menyuruh mereka jalan-jalan agar makin akrab.
Sampai di sungai dekat pesanggrahan, mereka melihat keluarga pemancing miskin yang menggerutu karena belum mendapat ikan. Pakungwati berdoa kepada Allah, lalu mencelupkan tongkat kayu Santeki di sungai. Keajaiaban terjadi. Ribuan udang kecil mengerubuti dan menempel di tongkat itu. Keluarga pemancing girang mendapatkan banyak udang kecil yang memenuhi tampahnya. Dengan ditemukannya banyak rebon di sungai itu, Kian Santang seperti dapat wangsit. Nama Caruban akhirnya diganti menjadi Cirebon.
Jagabaya, utusan Sri Baduga Maharaja meminta Pesanggarahan Pakungwati membayar upeti pada kerajaan Galuh. Kian Santang dan Pakungwati menolak, dengan alasan rakyat Cirebon masih hidup dalam kemiskinan. Namun sebagai tuan rumah, mereka menjamu Jagabaya sebagai tamu. Tapi Jagabaya kecewa dan marah karena yang dihidangkan cuma ikan asin. Pakungwati mengingatkan Jagabaya bahwa yang dimakan rakyat Cirebon adalah ikan asin. Jagabaya tetap tidak terima dan membuang makanan ikan asin itu. Keanehan terjadi. Ketika Jagabaya makan di warung makanan, ayam bakar yang dihidangkan berubah jadi ikan asin. Jagabaya datang lagi ke pesanggrahan Pakungwati minta dihidangkan makanan yang enak. Namun Pakungwati kembali menghidangkan ikan asin. Jagabaya makin marah. Pakungwati menyuruh Jagabaya memejamkan mata sambil membayangkan makanan yang enak sambil membaca bismillah. Ketika membuka mata, ikan asin dalam pandangan Jagabaya berubah jadi ayam bakar.
Jagabaya akhirnya simpati dan ingin menikahi Pakungwati, namun ia kecewa karena Pakungwati hendak dinikahkan dengan Syaruf Hidayatullah. Karena ingin berlaku adil, Pakungwati menyuruh mereka mengambil tongkat kayu santeki. Siapa yang berhasil mengangkat tongkat kayu santeki berhak menjadi suaminya. Ternyata Jagabaya tidak berhasil mengangkat kayu santeki. Syaruif Hidayatullah yang berhasil mengangkatnya. Pakungwati akhirnya menikah dengan Syarif Hidayatullah. Namun terjadi masalah di daerah Gunung Jati dan di daerah pesisir. Kian Santang menugaskan Syarif pergi Gunung Jati. Pakungwati ditugaskan ke daerah pesisir.
Jagabaya diam-diam mengikuti pakungwati ke daerah pesisir yang kena bencana badai laut. Jagabaya makin simpati pada ajaran Islam yang diajarkan Pakungwati. Jagabaya bahkan menggagalkan upaya Ki Salopa yang ingin mencelakai Pakungwati.
Syarif dan Pakungwati berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun Syarif harus pergi ke Demak untuk bergabung dengan Dewan Walisongo untuk membangun Masjid Agung Demak. Pakungwati juga ingin membangun masjid Agung di Cirebon. Pakungwati ingin pergi mencari batu pualam yang indah untuk lantai masjid nantinya. Pakungwati kembali berpisah dengan suaminya.
Jagabaya mengikuti perjalanan Pakungwati mencari batu pualam. Pengalaman bersama yang begitu berkesan, membuat Jagabaya akhirnya memeluk agama Islam. Namun mereka dijebak oleh Aragasela yang merupakan murid Ki Salopa. Argasela dan Ki Salopa mendorong mereka hingga jatuh ke jurang. Berkat pertolongan Allah, mereka selamat. Arghasela tewas kesambar petir, Ki Salopa berhasil melarikan diri. Di bawah jurang itu, mereka malah bertemu dengan Syarif yang juga ditugaskan Sunan Kalijogo untuk mencari batu pualam. Mereka menemukan batu pualam yang sangat indah.
Dengan batu pualam itu, Pakungwati berhasil membangun Masjid Agung di Cirebon dan diberi nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Ki Salopa yang berusaha membakar masjid itu malah tewas di patok ular.
Pakungwati bertarung dengan raja buaya yang menjadi sembahan Ki Salopa. Tak sengaja di dasar sungai ia menemukan kayu santeki. Dengan kayu santeki itu ia bisa mengalahkan buaya. Ki Salopa jadi dendam karena buaya sembahayan terbunuh.
Ki Salopa mencoba membunuh Pakungwati dengan menggelundungkan batu besar dari atas bukit. Namun batu itu hancur oleh pukulan kayu santeki. Ki Salopa jadi penasaran, siapa sebenarnya Pakungwati. Ternyata Pakungwati adalah putri Kian Santang, musuh bebuyutan Ki Salopa. Kian Santang mengenali kayu itu sebagai kayu santeki, dan segera menguji keampuhannya. Kian Santang menyuruh Pakungwati menjadikannya tongkat, karena kayu santeki itu berjodoh dengannya. Ki Salopa jadi nafsu untuk merebut kayu santeki itu.
Ketika Pakungwati dan ibunya (Nyai Indang Geulis) sedang mencuci di sungai, Ki Salopa berusaha mengambil kayu santeki yang diletakkan di atas batu. Namun Ki Salopa tidak berhasil mengangkat kayu santeki yang terasa sangat berat. Ki Salopa akhirnya memanggil para ular dengan sulingnya. Salah seeokor ular berhasil mencelakai Nyai Indang Geulis. Pada saat yang kritis muncul Syarif Hidayatullah menghalau para ular dengan tasbih batu safir. Dengan tasbih batu safir, Syarif Hidayatullah berhasil menyembuhkan Nyi Indang Geulis yang digigit ular dengan tasbih batu safir itu juga. Ki Salopa kalah hebat, akhirnya kabur. Ternyata Syarif Hidayatullah ingin bertemu Kian Santang.
Kian Santang mengenali tasbih batu safir Syarif Hidayatullah sebagai milik adiknya (Rara Santang) yang sudah tinggal di Mesir bersama suaminya. Ternyata Syarif Hidayatullah adalah keponakannya. Kian Santang teringat pada janjinya dulu bersama Rara Santang ketika menunaikan haji di tanah suci Makkah. Bahwa kalau mereka memiliki anak yang bebeda jenis kelamin akan dipersatukan sebagai suami istri. Rara Santang tentu saja terkejut, karena baru bertemu Syarif sudah mau dinikahkan. Nyi Indang Geulis menyuruh mereka jalan-jalan agar makin akrab.
Sampai di sungai dekat pesanggrahan, mereka melihat keluarga pemancing miskin yang menggerutu karena belum mendapat ikan. Pakungwati berdoa kepada Allah, lalu mencelupkan tongkat kayu Santeki di sungai. Keajaiaban terjadi. Ribuan udang kecil mengerubuti dan menempel di tongkat itu. Keluarga pemancing girang mendapatkan banyak udang kecil yang memenuhi tampahnya. Dengan ditemukannya banyak rebon di sungai itu, Kian Santang seperti dapat wangsit. Nama Caruban akhirnya diganti menjadi Cirebon.
Jagabaya, utusan Sri Baduga Maharaja meminta Pesanggarahan Pakungwati membayar upeti pada kerajaan Galuh. Kian Santang dan Pakungwati menolak, dengan alasan rakyat Cirebon masih hidup dalam kemiskinan. Namun sebagai tuan rumah, mereka menjamu Jagabaya sebagai tamu. Tapi Jagabaya kecewa dan marah karena yang dihidangkan cuma ikan asin. Pakungwati mengingatkan Jagabaya bahwa yang dimakan rakyat Cirebon adalah ikan asin. Jagabaya tetap tidak terima dan membuang makanan ikan asin itu. Keanehan terjadi. Ketika Jagabaya makan di warung makanan, ayam bakar yang dihidangkan berubah jadi ikan asin. Jagabaya datang lagi ke pesanggrahan Pakungwati minta dihidangkan makanan yang enak. Namun Pakungwati kembali menghidangkan ikan asin. Jagabaya makin marah. Pakungwati menyuruh Jagabaya memejamkan mata sambil membayangkan makanan yang enak sambil membaca bismillah. Ketika membuka mata, ikan asin dalam pandangan Jagabaya berubah jadi ayam bakar.
Jagabaya akhirnya simpati dan ingin menikahi Pakungwati, namun ia kecewa karena Pakungwati hendak dinikahkan dengan Syaruf Hidayatullah. Karena ingin berlaku adil, Pakungwati menyuruh mereka mengambil tongkat kayu santeki. Siapa yang berhasil mengangkat tongkat kayu santeki berhak menjadi suaminya. Ternyata Jagabaya tidak berhasil mengangkat kayu santeki. Syaruif Hidayatullah yang berhasil mengangkatnya. Pakungwati akhirnya menikah dengan Syarif Hidayatullah. Namun terjadi masalah di daerah Gunung Jati dan di daerah pesisir. Kian Santang menugaskan Syarif pergi Gunung Jati. Pakungwati ditugaskan ke daerah pesisir.
Jagabaya diam-diam mengikuti pakungwati ke daerah pesisir yang kena bencana badai laut. Jagabaya makin simpati pada ajaran Islam yang diajarkan Pakungwati. Jagabaya bahkan menggagalkan upaya Ki Salopa yang ingin mencelakai Pakungwati.
Syarif dan Pakungwati berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun Syarif harus pergi ke Demak untuk bergabung dengan Dewan Walisongo untuk membangun Masjid Agung Demak. Pakungwati juga ingin membangun masjid Agung di Cirebon. Pakungwati ingin pergi mencari batu pualam yang indah untuk lantai masjid nantinya. Pakungwati kembali berpisah dengan suaminya.
Jagabaya mengikuti perjalanan Pakungwati mencari batu pualam. Pengalaman bersama yang begitu berkesan, membuat Jagabaya akhirnya memeluk agama Islam. Namun mereka dijebak oleh Aragasela yang merupakan murid Ki Salopa. Argasela dan Ki Salopa mendorong mereka hingga jatuh ke jurang. Berkat pertolongan Allah, mereka selamat. Arghasela tewas kesambar petir, Ki Salopa berhasil melarikan diri. Di bawah jurang itu, mereka malah bertemu dengan Syarif yang juga ditugaskan Sunan Kalijogo untuk mencari batu pualam. Mereka menemukan batu pualam yang sangat indah.
Dengan batu pualam itu, Pakungwati berhasil membangun Masjid Agung di Cirebon dan diberi nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Ki Salopa yang berusaha membakar masjid itu malah tewas di patok ular.
0 komentar:
Posting Komentar