"Sunan Muria & Karomah Secepat Kilat"
Sejak kecil, Raden Umar Said telah menunjukkan sifat-sifat yang utama. Ia saleh, cerdas, berbakti kepada kedua orang tua, rendah hati, dan suka membantu sesamanya. Pada usia sepuluh tahun, ia telah menghafal hampir seluruh isi Al Qur’an.
Hal ini tidaklah terlalu mengherankan. Umar Said merupakan putera dari manusia-manusia utama. Ayahnya adalah Sunan Kalijaga dan bundanya adalah Siti Saroh, murid Sunan Ampel dan adik Sunan Giri. Tentu saja, semua sifatnya itu diturunkan dari ayah bundanya.
Umar Said pun rupanya banyak mendapat ilmu dari beberapa walisongo. Dari Sunan Giri, ia dapat ilmu berlari cepat yang luar biasa. Dari Sunan Bonang ia mendapat ilmu cara memasang tiang utama mesjid hanya dengan dorongan tangan. Sunan Gunung Jati pun tidak mau kalah, ia memberi ilmu mengangkat air dengan kekuatan tenaga dalam. Tanpa direncanakan, Raden Umar Said telah menimba ilmu dari ketiga sunan tanpa sepengetahuan ayahnya. Tentu saja bocah kecil itu sangat gembira.
Di usia ketujuh belas, Umar Said telah mendapat tugas dari ayahnya untuk berdakwah. Awalnya, pemuda remaja itu sangat ragu. Ia merasa ilmunya belumlah sempurna. Namun ayahnya terus mendorong dan menyemangati. “Berdakwah dan mencari ilmu itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Berdakwah bukan berarti kita berhenti untuk mencari ilmu. Berdakwah justru semakin membuat kita bersemangat untuk mempelajari berbagai jenis ilmu,” kata ayahnya.
Dengan mantap, Umar Said pun pergi meninggalkan kampung halaman untuk menyebarkan keagungan Islam pada masyarakat. Dakwahnya dimulai dari kalangan anak-anak dan remaja. Ia menanamkan akidah mereka melalui aneka permainan anak-anak, seperti gasing misalnya. Namun kegiatan ini bukannya tidak ada hambatan. Karena di antara mereka ada juga yang tidak suka bila dinasehati dengan siraman rohani. Mereka biasanya langsung pergi.
Tapi di antara mereka ada juga yang kemudian mengajukan pertanyaan. Menghadapi hal ini maka Umar Said menjawabnya dengan lemah lembut. Suatu hari pernah karena Umar Said selalu menang kalau bermain maka anak-anak itu jadi tidak mau bermain lagi alias kapok. Tidak jarang pula mereka jadi dendam dan mengajak Umar Said bertaruh.
Namun Umar Said dengan lemah lembut menolak ajakan itu dan dia menjelaskan bahwa permainan yang berbau judi itu tidak baik dan dilarang oleh agama sambil menjelaskan ayat-ayat tentang judi. Karena musuhnya itu tidak terima maka dia mengundang teman-temannya untuk mengeroyok Umar Said. Umar Said yang sudah memiliki bekal kesaktian dari para gurunya di atas tentu saja tidak gentar menghadapi tantangan itu namun dia juga dia tidak mau pamer ilmu kanuragannya. Paling-paling dia hanya melindungi diri kalau diserang. Meskipun akhirnya musuhnya itu kalah setelah Umar Said diam-diam mengeluarkan ilmu tenaga dalamnya.
Demikianlah, seiring dengan bertambahnya pengalaman dalam dakwah, bertambah pula kematangan ilmunya. Tanpa terasa, Umar Said telah menjelajahi desa-desa di sekeliling Gunung Muria. Daerah yang selama ini belum tersentuh oleh dakwah Islam. Umar Said hanyut dalam denyut kehidupan para penduduk yang terdiri dari berbagai bidang profesi atau pekerjaan, seperti nelayan, pedagang, petani, dan rakyat jelata.
Kepada petani, Umar Said banyak memberikan pengetahuan cara bertanam padi yang baik dan bagaimana cara merontokan padi. Umar Said pun memberikan pengetahuan bagaimana cara membuat saluran pengairan/irigasi yang baik. Gara-gara masalah inilah Umar Said harus berhadapan dengan seorang juragan bernama Marto yang merasa dirugikan oleh tindakan Umar Said. Ya, Juragan Marto adalah tokoh informal di desa itu. Kekayaannya menyebar di mana-mana, dari mulai bidang pertanian, perdagangan sampai kelautan dia kuasai.
Namun sayang dia punya perangai yang buruk yakni jahat, suka memeras atau merampas hak orang lain, dan mau untung sendiri. Selama ini penduduk selalu dirugikan oleh sistim irigasi yang diatur oleh Juragan Marto. Penduduk pun tidak berani memprotesnya. Setelah Umar Said turun tangan barulah penduduk merasa ada membela. Umar Said nyaris celaka karena dikeroyok oleh anak buah Juragan Marto. Namun ternyata justru Umar Saidlah yang menang. Sejak itu Juragan Marto menaruh dendam pada Umar Said.
Di bidang perdagangan pun, Umar Said ikut ambil bagian dengan memberikan pengarahan kepada penduduk bagaimana berdagang yang benar. Dari mulai menentukan harga (mengambil keuntungan secara wajar), tidak aji mumpung ambil untung, jujur, terakhir cara membuat dagangan cepat laris yakni dengan doa-doa yang manjur kepada Allah SWT. Karena kepandaian Umar Said dalam berkomunikasi maka dalam waktu singkat banyak pedagang yang tertarik dan mau mengikuti ajaran Umar Said.
Sejak para pedagang bergabung dengan Umar Said, dagangan mereka di pasar memang mengalami kemajuan yang cukup lumayan. Namun lagi-lagi Umar Said harus berhadapan dengan Juragan Marto yang selama ini banyak memasok bahan dagangan kepada para pedagang. Namun belakangan para pedagang beralih kepada pemasok lain yang lebih murah harganya. Juragan Marto marah karena barang-barang dagangannya menumpuk nggak laku di gudang. Dia mengalami rugi besar-besaran. Setelah tahu bahwa biang keladinya adalah Umar said maka Juragan Marto pun berencana hendak membunuhnya. Jagoan-jagoan hebat pun disiapkan oleh Juragan Marto. Namun sayang ketika ketika para jagoan ini berhadapan dengan Umar Said maka yang terjadi adalah mereka mengaku takluk kepada Umar Said dan berniat mau belajar agama padanya. Disini rupanya Umar Said memberikan banyak butir-butir keimanan melalui cuplikan ayat-ayat Kitab Al-Qur’an.
Jumlah pengikut Umar Said makin bertambah. Selama ini mereka belajar agama dengan berpindah-pindah tempat, kadang memanfaatkan pelataran rumah ataupun kebun. Bagi Umar Said keadaan ini tentu tidak baik, sebab mereka sering kehujanan ataupun kepanasan. Karena itu terbesit di hati Umar Said untuk membuat sebuah padepokan yang permanen. Demikianlah, pada suatu hari Umar Said berhasil mengajak sejumlah muridnya membangun padepokan semi permanen di atas sebidang tanah milik salah seorang muridnya. Namun belum selesai bangunan itu dibuat tiba-tiba Juragan Marto beserta anak buahnya mendatangi mereka untuk melakukan protes sebab tanah itu diklaim sebagai tanahnya. Terjadi adu argumentasi. Juragan Marto menang karena pemilik awal tanah itu punya sangkutan hutang dengan Juragan Marto. Akhirnya bangunan itupun dihancurkan lagi. Dari kejadian ini Umar Said jadi tahu bahwa banyak tanah di wilayah itu dikuasai oleh Juragan Marto yang kafir itu.
Setelah pikir-pikir akhirnya pilihan jatuh pada lereng Gunung Muria. Bersama para muridnya Umar Said mendirikan sebuah padepokan/pesantren di sana, tepatnya Desa Cala. Menuju pusat pesantren dibangun tangga batu setinggi tujuh ratus lima puluh meter. Hal ini dimaksudkan agar para santri mempunyai jiwa yang kuat, juga mempunyai fisik yang sehat. Hal inilah yang membuat orang-orang di sekitar Gunung Muria menyebut Umar Said sebagai Sunan Muria.
Sangat banyak rakyat kecil yang tertarik pada dakwahnya. Apalagi ia menyertakan gamelan, tembang, dan wayang. Kesenian yang sangat digemari masyarakat pada masa itu. Sebelum ceramah dimulai, Sunan Muria dan para muridnya membunyikan gamelan dan mengalunkan tembang-tembang ciptaannya. Suara indah dan merdu itu mengundang banyak orang untuk datang. Setelah masyarakat banyak berkumpul, barulah dakwah yang sebenarnya disampaikan.
Di padepokannya, selain mengkaji Islam, Sunan Muria juga mengajarkan tata krama dzikir. Di bawah bimbingan tasawuf Sunan Muria, orang-orang membenamkan diri untuk dzikir kepada Alloh. Hatinya senantiasa ingat kepada Alloh sambil di lisankan oleh bibirnya yang tak pernah kering mengucapkan kalimat Thoyyibah dan kalimat Risalah: "La Ilaha Illa Alloh Muhammadur Rosululloh". Dengan tangan tak henti menghitung butiran-butiran tasbih kadang diiringi goyangan lirih badannya dari kanan ke kiri sebanyak hitungan dzikir yang dilisankan dengan suasana pelan dan syahdu.
Pada awalnya Sunan Muria mengajari santri-santrinya belajar ngaji diawali dengan menghafalkan huruf Hijaiyah setelah lancar, baru bisa melanjutkan Juz ‘ama, setiap malam beliau tak ketinggalan sholat malam dan wirid. Suatu malam Sunan Muria ketika melakukan wirid didatangi oleh 29 orang (Khadam) di depan sejadah tempat beliau ngewirid dan mengaku pemilik jurus Hijaiyah dari alif s/d ya. Dan beliau tertegun dan sempat kebingungan melihat kedatangan 29 orang tersebut, dan ke-29 orang tersebut meminta kepada Susan Muria untuk menjadikannya kemampuan masing-masing silat Hijaiyah untuk dijadikan ilmu beladiri silat untuk menyebarkan syiar islam. Setelah mengalami obrolan panjang akhirnya sunan pun menerima keinginan ke 29 orang tersebut untuk dijadikan silat Hijaiyah untuk syiar agama islam. Setelah memberi hadarah kepada pemiliknya sunan pun keesokan harinya membicarakan kepada wali songo tentang hal tersebut dan oleh dewan wali songo menyetujui untuk mempelajari silat Hijaiyah untuk tujuan syiar Islam pada masa itu. dalam prakteknya silat ini diambil dari huruf-huruf hijaiyah yang ada di Al-Qur'an yaitu alif s/d ya. Untuk tiap-tiap jurus terdiri dari kembangan an - in - dan un.
Kemudian agar pengembangan dakwah berjalan dengan baik, Sunan Muria meminta setiap desa untuk mengirimkan pemuda-pemuda terbaiknya ke Cala. Mereka belajar mengaji, lalu menyebarkan ilmunya ke daerah asal mereka masing-masing. Juragan Marto melarang para pekerja atau anak buah beserta keluarganya mengikuti anjuran itu. Juragan Marto juga mengancam akan membunuh bagi yang melanggarnya. Namun belakangan ada juga yang nekad melanggarnya. Saat orang tersebut hendak dihabisi nyawanya oleh anak buah Juragan Marto, maka Sunan Muria datang menolongnya. Sejak itu Juragan Marto seperti kehabisan akal lagi untuk mencegah ajaran Sunan Muria berkembang di wilayah itu.
Suatu hari, datang seorang lelaki, yang tiada lain adalah salah seorang guru Sunan Muria yakni Ki Ageng Ngerang. Kedatangannya selain untuk melihat kemajuan pesantren Sunan Muria juga mengundang Sunan Muria pada acara tasyakuran putri Ki Ageng Ngerang, Dewi Roroyono yang kedua puluh. Sunan Muria pun menyanggupi untuk datang pada acara tersebut.
Keesokan harinya Sunan Muria pun pergi ke tempatnya Ki Ageng Ngerang. Rupanya hal ini sudah diketahui oleh Juragan Marto yang selama ini menaruh dendam pada sunan. Maka Juragan Marto pun mengatur siasat. Mereka hendak menghadang sunan di tengah perjalanan caranya dengan pura-pura bekerja di sawah agar tidak mencolok.
Demikianlah, di suatu persawahan yang terlindung pepohonan yang lebat, Sunan Muria terhenti langkahnya karena mendengar suara “krubyuk-krubyuk” yaitu suara air yang disebabkan oleh gerakan tertentu. Sesungguhnya suara itu berasal dari langkah-langkah orang disawah yang berair. “Suara apakah yang krubyuk-krubyuk di malam sepi begini?” tanya Sunan Muria dalam hatinya. Sunan lalu mengeceknya sendiri.
Kemudian, diketahui bahwa suara itu berasal dari langkah-langkah Juragan Marto bersama para anak buahnya yang sedang pura-pura mencabuti bibit padi untuk di tanam di sawah keesokan harinya. “oh, kukira tadi suara bulus.” Kata Sunan Muria dengan lembutnya. Konon, kata-kata Sunan itu menjadi kenyataan. Juragan Marto dan para anak buahnya yang sedang mencabuti bibit padi itu berubah menjadi bulus atau kura-kura. Tentu saja mereka pun terkejut dan bersedih hati menyadari nasibnya yang malang itu.
Maka Juragan Marto yang kini telah menjadi seekor bulus itu memohon maaf kepada Sunan Muria dan minta dikembalikan kepada wujud aslinya.
Sesungguhnya hati Sunan Muria merasa terharu menyaksikan peristwa itu. Akan tetapi beliau pun tersenyum sambil berkata dengan lembutnya. “Wahai sanak kerabatku, aku sendiri ikut prihatin terhadap musibah ini, namun haruslah kukatakan bahwa semua ini sudah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu terimalah dengan iklas dan bertawakallah kepada Sang Pencipta.” Lalu, Bulus Juragan Marto bilang bahwa sekiranya memang demikian takdir mereka, lantas bagaimana mereka memperoleh kehidupan?
Hati Sunan Muria semakin pilu mendengar permohonan itu. Setelah beliau bertafakur sejenak sesaat kemudian dengan tangkas menusukkan tongkatnya ke dalam tanah. Pada saat Sunan mencabut tongkatnya muncullah air yang jernih. Dalam waktu sekejap saja tempat itu telah menjadi kolam atau sendang. “Dengarlah wahai para bulus tempat ini telah menjadi sumber air abadi dan kelak akan mejadi desa yang ramai dengan nama Sumber. Bersabarlah kalian disini karena makanan apapun yang kalian inginkan akan datang sendiri.” Setelah berkata demikian bergegaslah Sunan Muria pergi meninggalkan tempat itu sehingga para bulus tak sempat menyampaikan terima kasihnya. Sejak itu orang-orang setempat menyaksikan sebuah kolam atau sendang yang banyak bulusnya. Sampai sekarang sendang sumber itu masih dikeramatkan.
Ternyata, kedatangan Sunan Muria ke tempatnya Ki Ageng Ngerang adalah rencana Allah untuk memberi hadiah bagi Sunan Muria. Ki Ageng Ngerang berniat untuk menjodohkan putrinya dengan Sunan Muria. Karena Dewi Roroyono adalah seorang putri yang salehah dan halus budi, Sunan Muria pun menyetujuinya.
Mendengar rencana itu maka membuat Pathak Warak cemburu berat. Maklum, Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempersona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Pada malamnya, timbul masalah. Dewi Roroyono hilang dari kamarnya. Ternyata, ia diculik oleh Adipati Pathak Warak. Kontan, itu membuat geger. Sunan Muria karena merasa bertanggung jawab maka dia segera pergi mencari Dewi Roroyono.
Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling. Sunan Muria pun menjelaskan permasalahannya. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua langsung menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono. Mereka menyarankan agar Sunan Muria kembali ke Gunung Muria. Karena para Sunan Muria sangat membutuhkan bimbingan. Mereka berjanji Sunan Muria tetap berhak mengawini gadis itu. karena mereka hanya sekedar membantu.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang untuk mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak. Disini beliau meminta Pathak Warak mengembali Dewi Roroyono. Namun jawaban Pathak Warak membuat Sunan Muria kaget. Sebab gadis itu sudah dibawa pergi Kapa dan Gentiri. Pathak Warak sendiri saat itu mau merebut kembali gadis itu dari Kapa dan Gentiri. Sunan Muria bilang bahwa Dewi Roroyono telah dijodohkan dengannya. Pathak Warak kaget da tidak terima. Maka mereka pun berkelahi.
Pathak Warak menyerang Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana, kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.
Upacara pernikahanpun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan. Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Namun tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apalagi.
Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari.
Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk. Kapa dimarahi oleh Wiku Lodhang datuk agar menyerahkan istri kakak seperguruannya itu segera. Tapi Kapa bersikeras tidak mau dengan berbagai alasan. Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata, serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawanya sendiri. Sunan Muria minta maaf kepada Wiku Lodhang Datuk atas kejadian itu. Wiku Lodhang Datuk rupanya memakluminya. Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.
Ada beberapa ajaran akhlak yang diwariskan dari Sunan Muria. Pertama adalah ajaran tentang kesucian hidup., Kedua, menegakkan kemuliaan diri. Ketiga, mengembangkan akhlak yang luhur. Keempat, berlaku baik kepada tetangga dan kerabat. Kelima, harus saling memaafkan. Keenam, harus saling menyelamatkan. Ketujuh, tidak boleh berbuat zalim.
Sejak kecil, Raden Umar Said telah menunjukkan sifat-sifat yang utama. Ia saleh, cerdas, berbakti kepada kedua orang tua, rendah hati, dan suka membantu sesamanya. Pada usia sepuluh tahun, ia telah menghafal hampir seluruh isi Al Qur’an.
Hal ini tidaklah terlalu mengherankan. Umar Said merupakan putera dari manusia-manusia utama. Ayahnya adalah Sunan Kalijaga dan bundanya adalah Siti Saroh, murid Sunan Ampel dan adik Sunan Giri. Tentu saja, semua sifatnya itu diturunkan dari ayah bundanya.
Umar Said pun rupanya banyak mendapat ilmu dari beberapa walisongo. Dari Sunan Giri, ia dapat ilmu berlari cepat yang luar biasa. Dari Sunan Bonang ia mendapat ilmu cara memasang tiang utama mesjid hanya dengan dorongan tangan. Sunan Gunung Jati pun tidak mau kalah, ia memberi ilmu mengangkat air dengan kekuatan tenaga dalam. Tanpa direncanakan, Raden Umar Said telah menimba ilmu dari ketiga sunan tanpa sepengetahuan ayahnya. Tentu saja bocah kecil itu sangat gembira.
Di usia ketujuh belas, Umar Said telah mendapat tugas dari ayahnya untuk berdakwah. Awalnya, pemuda remaja itu sangat ragu. Ia merasa ilmunya belumlah sempurna. Namun ayahnya terus mendorong dan menyemangati. “Berdakwah dan mencari ilmu itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Berdakwah bukan berarti kita berhenti untuk mencari ilmu. Berdakwah justru semakin membuat kita bersemangat untuk mempelajari berbagai jenis ilmu,” kata ayahnya.
Dengan mantap, Umar Said pun pergi meninggalkan kampung halaman untuk menyebarkan keagungan Islam pada masyarakat. Dakwahnya dimulai dari kalangan anak-anak dan remaja. Ia menanamkan akidah mereka melalui aneka permainan anak-anak, seperti gasing misalnya. Namun kegiatan ini bukannya tidak ada hambatan. Karena di antara mereka ada juga yang tidak suka bila dinasehati dengan siraman rohani. Mereka biasanya langsung pergi.
Tapi di antara mereka ada juga yang kemudian mengajukan pertanyaan. Menghadapi hal ini maka Umar Said menjawabnya dengan lemah lembut. Suatu hari pernah karena Umar Said selalu menang kalau bermain maka anak-anak itu jadi tidak mau bermain lagi alias kapok. Tidak jarang pula mereka jadi dendam dan mengajak Umar Said bertaruh.
Namun Umar Said dengan lemah lembut menolak ajakan itu dan dia menjelaskan bahwa permainan yang berbau judi itu tidak baik dan dilarang oleh agama sambil menjelaskan ayat-ayat tentang judi. Karena musuhnya itu tidak terima maka dia mengundang teman-temannya untuk mengeroyok Umar Said. Umar Said yang sudah memiliki bekal kesaktian dari para gurunya di atas tentu saja tidak gentar menghadapi tantangan itu namun dia juga dia tidak mau pamer ilmu kanuragannya. Paling-paling dia hanya melindungi diri kalau diserang. Meskipun akhirnya musuhnya itu kalah setelah Umar Said diam-diam mengeluarkan ilmu tenaga dalamnya.
Demikianlah, seiring dengan bertambahnya pengalaman dalam dakwah, bertambah pula kematangan ilmunya. Tanpa terasa, Umar Said telah menjelajahi desa-desa di sekeliling Gunung Muria. Daerah yang selama ini belum tersentuh oleh dakwah Islam. Umar Said hanyut dalam denyut kehidupan para penduduk yang terdiri dari berbagai bidang profesi atau pekerjaan, seperti nelayan, pedagang, petani, dan rakyat jelata.
Kepada petani, Umar Said banyak memberikan pengetahuan cara bertanam padi yang baik dan bagaimana cara merontokan padi. Umar Said pun memberikan pengetahuan bagaimana cara membuat saluran pengairan/irigasi yang baik. Gara-gara masalah inilah Umar Said harus berhadapan dengan seorang juragan bernama Marto yang merasa dirugikan oleh tindakan Umar Said. Ya, Juragan Marto adalah tokoh informal di desa itu. Kekayaannya menyebar di mana-mana, dari mulai bidang pertanian, perdagangan sampai kelautan dia kuasai.
Namun sayang dia punya perangai yang buruk yakni jahat, suka memeras atau merampas hak orang lain, dan mau untung sendiri. Selama ini penduduk selalu dirugikan oleh sistim irigasi yang diatur oleh Juragan Marto. Penduduk pun tidak berani memprotesnya. Setelah Umar Said turun tangan barulah penduduk merasa ada membela. Umar Said nyaris celaka karena dikeroyok oleh anak buah Juragan Marto. Namun ternyata justru Umar Saidlah yang menang. Sejak itu Juragan Marto menaruh dendam pada Umar Said.
Di bidang perdagangan pun, Umar Said ikut ambil bagian dengan memberikan pengarahan kepada penduduk bagaimana berdagang yang benar. Dari mulai menentukan harga (mengambil keuntungan secara wajar), tidak aji mumpung ambil untung, jujur, terakhir cara membuat dagangan cepat laris yakni dengan doa-doa yang manjur kepada Allah SWT. Karena kepandaian Umar Said dalam berkomunikasi maka dalam waktu singkat banyak pedagang yang tertarik dan mau mengikuti ajaran Umar Said.
Sejak para pedagang bergabung dengan Umar Said, dagangan mereka di pasar memang mengalami kemajuan yang cukup lumayan. Namun lagi-lagi Umar Said harus berhadapan dengan Juragan Marto yang selama ini banyak memasok bahan dagangan kepada para pedagang. Namun belakangan para pedagang beralih kepada pemasok lain yang lebih murah harganya. Juragan Marto marah karena barang-barang dagangannya menumpuk nggak laku di gudang. Dia mengalami rugi besar-besaran. Setelah tahu bahwa biang keladinya adalah Umar said maka Juragan Marto pun berencana hendak membunuhnya. Jagoan-jagoan hebat pun disiapkan oleh Juragan Marto. Namun sayang ketika ketika para jagoan ini berhadapan dengan Umar Said maka yang terjadi adalah mereka mengaku takluk kepada Umar Said dan berniat mau belajar agama padanya. Disini rupanya Umar Said memberikan banyak butir-butir keimanan melalui cuplikan ayat-ayat Kitab Al-Qur’an.
Jumlah pengikut Umar Said makin bertambah. Selama ini mereka belajar agama dengan berpindah-pindah tempat, kadang memanfaatkan pelataran rumah ataupun kebun. Bagi Umar Said keadaan ini tentu tidak baik, sebab mereka sering kehujanan ataupun kepanasan. Karena itu terbesit di hati Umar Said untuk membuat sebuah padepokan yang permanen. Demikianlah, pada suatu hari Umar Said berhasil mengajak sejumlah muridnya membangun padepokan semi permanen di atas sebidang tanah milik salah seorang muridnya. Namun belum selesai bangunan itu dibuat tiba-tiba Juragan Marto beserta anak buahnya mendatangi mereka untuk melakukan protes sebab tanah itu diklaim sebagai tanahnya. Terjadi adu argumentasi. Juragan Marto menang karena pemilik awal tanah itu punya sangkutan hutang dengan Juragan Marto. Akhirnya bangunan itupun dihancurkan lagi. Dari kejadian ini Umar Said jadi tahu bahwa banyak tanah di wilayah itu dikuasai oleh Juragan Marto yang kafir itu.
Setelah pikir-pikir akhirnya pilihan jatuh pada lereng Gunung Muria. Bersama para muridnya Umar Said mendirikan sebuah padepokan/pesantren di sana, tepatnya Desa Cala. Menuju pusat pesantren dibangun tangga batu setinggi tujuh ratus lima puluh meter. Hal ini dimaksudkan agar para santri mempunyai jiwa yang kuat, juga mempunyai fisik yang sehat. Hal inilah yang membuat orang-orang di sekitar Gunung Muria menyebut Umar Said sebagai Sunan Muria.
Sangat banyak rakyat kecil yang tertarik pada dakwahnya. Apalagi ia menyertakan gamelan, tembang, dan wayang. Kesenian yang sangat digemari masyarakat pada masa itu. Sebelum ceramah dimulai, Sunan Muria dan para muridnya membunyikan gamelan dan mengalunkan tembang-tembang ciptaannya. Suara indah dan merdu itu mengundang banyak orang untuk datang. Setelah masyarakat banyak berkumpul, barulah dakwah yang sebenarnya disampaikan.
Di padepokannya, selain mengkaji Islam, Sunan Muria juga mengajarkan tata krama dzikir. Di bawah bimbingan tasawuf Sunan Muria, orang-orang membenamkan diri untuk dzikir kepada Alloh. Hatinya senantiasa ingat kepada Alloh sambil di lisankan oleh bibirnya yang tak pernah kering mengucapkan kalimat Thoyyibah dan kalimat Risalah: "La Ilaha Illa Alloh Muhammadur Rosululloh". Dengan tangan tak henti menghitung butiran-butiran tasbih kadang diiringi goyangan lirih badannya dari kanan ke kiri sebanyak hitungan dzikir yang dilisankan dengan suasana pelan dan syahdu.
Pada awalnya Sunan Muria mengajari santri-santrinya belajar ngaji diawali dengan menghafalkan huruf Hijaiyah setelah lancar, baru bisa melanjutkan Juz ‘ama, setiap malam beliau tak ketinggalan sholat malam dan wirid. Suatu malam Sunan Muria ketika melakukan wirid didatangi oleh 29 orang (Khadam) di depan sejadah tempat beliau ngewirid dan mengaku pemilik jurus Hijaiyah dari alif s/d ya. Dan beliau tertegun dan sempat kebingungan melihat kedatangan 29 orang tersebut, dan ke-29 orang tersebut meminta kepada Susan Muria untuk menjadikannya kemampuan masing-masing silat Hijaiyah untuk dijadikan ilmu beladiri silat untuk menyebarkan syiar islam. Setelah mengalami obrolan panjang akhirnya sunan pun menerima keinginan ke 29 orang tersebut untuk dijadikan silat Hijaiyah untuk syiar agama islam. Setelah memberi hadarah kepada pemiliknya sunan pun keesokan harinya membicarakan kepada wali songo tentang hal tersebut dan oleh dewan wali songo menyetujui untuk mempelajari silat Hijaiyah untuk tujuan syiar Islam pada masa itu. dalam prakteknya silat ini diambil dari huruf-huruf hijaiyah yang ada di Al-Qur'an yaitu alif s/d ya. Untuk tiap-tiap jurus terdiri dari kembangan an - in - dan un.
Kemudian agar pengembangan dakwah berjalan dengan baik, Sunan Muria meminta setiap desa untuk mengirimkan pemuda-pemuda terbaiknya ke Cala. Mereka belajar mengaji, lalu menyebarkan ilmunya ke daerah asal mereka masing-masing. Juragan Marto melarang para pekerja atau anak buah beserta keluarganya mengikuti anjuran itu. Juragan Marto juga mengancam akan membunuh bagi yang melanggarnya. Namun belakangan ada juga yang nekad melanggarnya. Saat orang tersebut hendak dihabisi nyawanya oleh anak buah Juragan Marto, maka Sunan Muria datang menolongnya. Sejak itu Juragan Marto seperti kehabisan akal lagi untuk mencegah ajaran Sunan Muria berkembang di wilayah itu.
Suatu hari, datang seorang lelaki, yang tiada lain adalah salah seorang guru Sunan Muria yakni Ki Ageng Ngerang. Kedatangannya selain untuk melihat kemajuan pesantren Sunan Muria juga mengundang Sunan Muria pada acara tasyakuran putri Ki Ageng Ngerang, Dewi Roroyono yang kedua puluh. Sunan Muria pun menyanggupi untuk datang pada acara tersebut.
Keesokan harinya Sunan Muria pun pergi ke tempatnya Ki Ageng Ngerang. Rupanya hal ini sudah diketahui oleh Juragan Marto yang selama ini menaruh dendam pada sunan. Maka Juragan Marto pun mengatur siasat. Mereka hendak menghadang sunan di tengah perjalanan caranya dengan pura-pura bekerja di sawah agar tidak mencolok.
Demikianlah, di suatu persawahan yang terlindung pepohonan yang lebat, Sunan Muria terhenti langkahnya karena mendengar suara “krubyuk-krubyuk” yaitu suara air yang disebabkan oleh gerakan tertentu. Sesungguhnya suara itu berasal dari langkah-langkah orang disawah yang berair. “Suara apakah yang krubyuk-krubyuk di malam sepi begini?” tanya Sunan Muria dalam hatinya. Sunan lalu mengeceknya sendiri.
Kemudian, diketahui bahwa suara itu berasal dari langkah-langkah Juragan Marto bersama para anak buahnya yang sedang pura-pura mencabuti bibit padi untuk di tanam di sawah keesokan harinya. “oh, kukira tadi suara bulus.” Kata Sunan Muria dengan lembutnya. Konon, kata-kata Sunan itu menjadi kenyataan. Juragan Marto dan para anak buahnya yang sedang mencabuti bibit padi itu berubah menjadi bulus atau kura-kura. Tentu saja mereka pun terkejut dan bersedih hati menyadari nasibnya yang malang itu.
Maka Juragan Marto yang kini telah menjadi seekor bulus itu memohon maaf kepada Sunan Muria dan minta dikembalikan kepada wujud aslinya.
Sesungguhnya hati Sunan Muria merasa terharu menyaksikan peristwa itu. Akan tetapi beliau pun tersenyum sambil berkata dengan lembutnya. “Wahai sanak kerabatku, aku sendiri ikut prihatin terhadap musibah ini, namun haruslah kukatakan bahwa semua ini sudah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu terimalah dengan iklas dan bertawakallah kepada Sang Pencipta.” Lalu, Bulus Juragan Marto bilang bahwa sekiranya memang demikian takdir mereka, lantas bagaimana mereka memperoleh kehidupan?
Hati Sunan Muria semakin pilu mendengar permohonan itu. Setelah beliau bertafakur sejenak sesaat kemudian dengan tangkas menusukkan tongkatnya ke dalam tanah. Pada saat Sunan mencabut tongkatnya muncullah air yang jernih. Dalam waktu sekejap saja tempat itu telah menjadi kolam atau sendang. “Dengarlah wahai para bulus tempat ini telah menjadi sumber air abadi dan kelak akan mejadi desa yang ramai dengan nama Sumber. Bersabarlah kalian disini karena makanan apapun yang kalian inginkan akan datang sendiri.” Setelah berkata demikian bergegaslah Sunan Muria pergi meninggalkan tempat itu sehingga para bulus tak sempat menyampaikan terima kasihnya. Sejak itu orang-orang setempat menyaksikan sebuah kolam atau sendang yang banyak bulusnya. Sampai sekarang sendang sumber itu masih dikeramatkan.
Ternyata, kedatangan Sunan Muria ke tempatnya Ki Ageng Ngerang adalah rencana Allah untuk memberi hadiah bagi Sunan Muria. Ki Ageng Ngerang berniat untuk menjodohkan putrinya dengan Sunan Muria. Karena Dewi Roroyono adalah seorang putri yang salehah dan halus budi, Sunan Muria pun menyetujuinya.
Mendengar rencana itu maka membuat Pathak Warak cemburu berat. Maklum, Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempersona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Pada malamnya, timbul masalah. Dewi Roroyono hilang dari kamarnya. Ternyata, ia diculik oleh Adipati Pathak Warak. Kontan, itu membuat geger. Sunan Muria karena merasa bertanggung jawab maka dia segera pergi mencari Dewi Roroyono.
Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling. Sunan Muria pun menjelaskan permasalahannya. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua langsung menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono. Mereka menyarankan agar Sunan Muria kembali ke Gunung Muria. Karena para Sunan Muria sangat membutuhkan bimbingan. Mereka berjanji Sunan Muria tetap berhak mengawini gadis itu. karena mereka hanya sekedar membantu.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang untuk mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak. Disini beliau meminta Pathak Warak mengembali Dewi Roroyono. Namun jawaban Pathak Warak membuat Sunan Muria kaget. Sebab gadis itu sudah dibawa pergi Kapa dan Gentiri. Pathak Warak sendiri saat itu mau merebut kembali gadis itu dari Kapa dan Gentiri. Sunan Muria bilang bahwa Dewi Roroyono telah dijodohkan dengannya. Pathak Warak kaget da tidak terima. Maka mereka pun berkelahi.
Pathak Warak menyerang Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana, kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.
Upacara pernikahanpun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan. Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Namun tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apalagi.
Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari.
Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk. Kapa dimarahi oleh Wiku Lodhang datuk agar menyerahkan istri kakak seperguruannya itu segera. Tapi Kapa bersikeras tidak mau dengan berbagai alasan. Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata, serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawanya sendiri. Sunan Muria minta maaf kepada Wiku Lodhang Datuk atas kejadian itu. Wiku Lodhang Datuk rupanya memakluminya. Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.
Ada beberapa ajaran akhlak yang diwariskan dari Sunan Muria. Pertama adalah ajaran tentang kesucian hidup., Kedua, menegakkan kemuliaan diri. Ketiga, mengembangkan akhlak yang luhur. Keempat, berlaku baik kepada tetangga dan kerabat. Kelima, harus saling memaafkan. Keenam, harus saling menyelamatkan. Ketujuh, tidak boleh berbuat zalim.
0 komentar:
Posting Komentar