ID-DUNYA HASANAH WAFIL-AKHIRATI HASANAH
Oleh: A. Mustofa Bisri
Kepentingan pembangunan–seperti juga pada jaman revolusi, yaitu kepentingan revolusi–ternyata tidak hanya memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli. Apalagi jika masyarakat menjadi subyek–atau obyek–pembangunan justru “kaum beragama”.
Apabila pembangunan itu menitikberatkan pada pembangunan material (kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual (kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang pentingnya materi. Minimal pentingnya menjaga “keseimbangan” antara keduanya (material bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan akhirat).
Maka, dalil-dalil tentang mencari–atau setidak-tidaknya tentang peringatan untuk tidak melupakan–kesejahteraan dunia, pun perlu “digali” untuk digalakkan sosialisasinya.
Tak jarang semangat ingin berpartisipasi dalam pembangunan material-- yang menjadi titik berat pembangunan– ini mendorong para dai dan kyai justru melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagiaan akhirat. Atau, setidaknya, kurang proporsional dalam melihat kedua kepentingan itu.
Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir doa sapu jagat saja: Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Biasanya, mereka juga tak lupa membawakan Hadist popular ini: I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Kadang-kadang, dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam Surat al-Qashash (28), ayat 77:“Wabtaghi fiimaa aataakallahu 'd-daaral aakhirata walaa tansanashiebaka min ad-dunya....” yang menurut terjemahan Depag diartikan,“Dan carikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi…”.
Umumnya orang–sebagaimana para dainya–segera memahami dalil-dalil tersebut sebagai anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di akhirat.
Kita yang umumnya–tak usah dianjurkan pun–sudah senang “beramal” untuk kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan duniawi kita.
Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangat–bahkan mati-matian–kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini.
Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya, “Innamal a'maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa.” Tapi, kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya.
Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn Abbas,“Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia”).
Juga dalil I'mal lidunyaaka… --seandainya pun benar merupakan Hadist shahih–mengapa tidak dipahami, misalnya,“Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena.
Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,“Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu?
Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang).
Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.
Oleh: A. Mustofa Bisri
Kepentingan pembangunan–seperti juga pada jaman revolusi, yaitu kepentingan revolusi–ternyata tidak hanya memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli. Apalagi jika masyarakat menjadi subyek–atau obyek–pembangunan justru “kaum beragama”.
Apabila pembangunan itu menitikberatkan pada pembangunan material (kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual (kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang pentingnya materi. Minimal pentingnya menjaga “keseimbangan” antara keduanya (material bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan akhirat).
Maka, dalil-dalil tentang mencari–atau setidak-tidaknya tentang peringatan untuk tidak melupakan–kesejahteraan dunia, pun perlu “digali” untuk digalakkan sosialisasinya.
Tak jarang semangat ingin berpartisipasi dalam pembangunan material-- yang menjadi titik berat pembangunan– ini mendorong para dai dan kyai justru melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagiaan akhirat. Atau, setidaknya, kurang proporsional dalam melihat kedua kepentingan itu.
Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir doa sapu jagat saja: Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Biasanya, mereka juga tak lupa membawakan Hadist popular ini: I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Kadang-kadang, dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam Surat al-Qashash (28), ayat 77:“Wabtaghi fiimaa aataakallahu 'd-daaral aakhirata walaa tansanashiebaka min ad-dunya....” yang menurut terjemahan Depag diartikan,“Dan carikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi…”.
Umumnya orang–sebagaimana para dainya–segera memahami dalil-dalil tersebut sebagai anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di akhirat.
Kita yang umumnya–tak usah dianjurkan pun–sudah senang “beramal” untuk kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan duniawi kita.
Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangat–bahkan mati-matian–kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini.
Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya, “Innamal a'maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa.” Tapi, kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya.
Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn Abbas,“Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia”).
Juga dalil I'mal lidunyaaka… --seandainya pun benar merupakan Hadist shahih–mengapa tidak dipahami, misalnya,“Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena.
Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,“Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu?
Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang).
Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar