Babad Demak menyebutkan bahwa setelah
Majapahit runtuh karena serangan Demak,
banyak putra-putri keturunan Brawijaya yang
mengungsi menyelamatkan diri. Salah
satunya ialah Raden Dhandhun, putra Prabu
Brawijaya dari selir.
Dalam usia yang masih terbilang muda,
Raden Dhandhun terpisah dari keluarganya,
keluar masuk hutan, mendaki gunung,
menuruni jurang, terlunta-lunta tak jelas arah
tujuannya.
Hingga pada suatu ketika Raden Dhandhun
tiba di Desa Mancingan, Yogyakarta. Pada
waktu itu, di Mancingan ada seorang pendeta
Budha (Hindu?) yang sangat mumpuni ilmu
agamanya dan bernama Kyai Selaening. Oleh
sang pendeta, Raden Dhandhun diganti
namanya menjadi Kyai Bela-belu untuk
keperluan penyamaran identitas.
Beliau diperintahkan untuk ke puncak
gunung sebelah barat Gunung Sentana yaitu
setelah Gunung Bantheng. Kyai Bela Belu ini
sejak tiba sudah terlihat kalau ia rajin
melakukan tapa. Ia biasa tidak tidur hingga
tiga sampai empat hari. Tetapi, Raden
Dhandhun tidak kuat menahan lapar,
sebentar-sebentar ia harus makan. Sebab,
tiap hari ia biasa makan tiga sampai empat
kali. Kesukaannya adalah nasi ayam liwet
yaitu nasi yang dimasak menggunakan
santan kelapa dan dalamnya diisi dengan
daging ayam.
Karenanya, kemudian Kyai Selaening
meminta Raden Dhandhun untuk mencuci
beras di Sungai Beji, sebelah utara
Parangendhog, kira-kira 5 km dari Gunung
Bantheng. Dengan cara seperti itu nafsu
makannya dapat dikurangi menjadi sekali
dalam sehari.
Saking gemarnya melakukan ulah batin, Kyai
Bela Belu pun kemudian memperoleh
kelebihan yang bisa digunakan untuk
menolong warga desa sekitarnya. Karena itu,
sampai makamnya saja hingga kini masih
dianggap keramat. Setelah Kyai Selaening
masuk Islam, Kyai Bela Belu juga ikut pula
masuk Islam. Oleh Syekh Maulana, Kyai Bela
Belu diberikan sebutan sebagai Syekh yang
berarti sang guru, meskipun beliau adalah
seorang putra raja.
Babad tidak menyebutkan apakah Kyai Bela
Belu itu menikah atau tidak. Sebab tidak ada
orang yang mengaku sebagai keturunannya
Syekh Bela Belu. Bahkan setelah wafat pun
tidak ada yang tahu dimana makam beliau
yang sesungguhnya. Tetapi yang pasti,
makamnya terdapat di sebelah barat Gunung
Sentana. Letak makam Syekh Bela Belu baru
ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono
IV sewaktu ia berkuasa.
Seperti yang disebutkan oleh R. Ng.
Djadjalana dalam Bab Pesanggrahan
Parangtritis tahun 1933. Disebutkan sekitar
tahun 1830 di Grogol (sebelah utara
Parangtritis) ada seorang sesepuh desa yang
juga menjabat sebagai Demang Pemajegan
(Pemaosan) yang masih merupakan
keturunan dari Kyai Selaening dan sering
melakukan tapa. Pada suatu malam tatkala
Demang Pemajegan pergi ke Segara Kidul
(Laut Selatan), ia melihat cahaya rembulan
yang tampak dari balik Gunung Sentana dan
jatuh di Gunung Bantheng. Di lain hari lagi, ia
melihat cahaya seperti tugu yang terus
amblas di Gunung Bantheng. Kejadian ini
dialami berkali-kali. Kemudian Lama-lama
tempat jatuhnya cahaya di Gunung Bantheng
ini ditandainya dengan tanda dari kayu.
Kejadian ini kemudian diceritakannya kepada
Sri Sultan Hamengkubuwono IV sekalian
memohon izin untuk menggali dasar dari
patok makam, siapa tahu diketemukan
benda-benda yang aneh. Setelah disetujui,
dilakukanlah penggalian. Pada saat itu
ditemukan obyek berupa empat buah batu
hitam yang berjejeran, dua di utara dan dua
di selatan. Seperti makam yang
berdampingan tetapi tanpa nisan yang
membedakannya.
Di dekatnya ditemukan sebuah lempengan
batu hitam bergambar ilir (semacam kipas
dari anyaman bamboo) dan iyan (semacam
tampah yang juga terbuat dari anyaman
bamboo). Dimana iyan dan ilir adalah alat
untuk mendinginkan nasi, yakni setelah nasi
diler di tampah barulah dikipasi dengan kipas
tadi.
Kejadian atas temuan inipun kemudian
diberitahukan kepada Sri Sultan. Dan dilihat
dari diketemukannya gambar ilir dan iyan, Sri
Sultan pun kemudian menetapkan bahwa
kuburan itu adalah makamnya Syeh Bela
Belu. Sedangkan yang di sebelahnya adalah
makam adiknya Kyai Dami (Gagang) Aking,
yang juga terkenal akan tapa tanpa henti
hingga lupa akan makan dan minum.
Karena kesungguhan Syekh Bela Belu dan
juga Kyai Gagang Aking dalam melakukan
tapa, maka keduanya kemudian bisa
mencapai apa yang dicita-citakan, yaitu
pencerahan.
Kemudian atas perintah Sri Sultan pulalah
makam di Gunung Bantheng ini kemudian
dicungkup kayu jati. Bagian luarnya dilapisi
menggunakan batu hitam dan atasnya
dilangse. Kini, makam dijaga oleh abdi dalem
keraton yang juga adalah penjaga makam
dari Syekh Maulana.
Selain kisah di atas, Syekh Bela Belu serta
adiknya Syekh Dami Aking juga diyakini
sebagai murid dari Sunan Kalijaga, yang
diperintahkan untuk melakukan tapa di
sebuah tempat yang kemudian dikenal
sebagai Pertapaan Lemah Putih, yang
sangat melegenda di daerah Nganjuk, Jawa
Timur.
Selasa, 24 Maret 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar