siapakah Syekh Quro itu????
Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di
Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di
Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan
oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari
Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun
1412 saka atau 1491 Masehi. Karena
pesantrennya yang bernama Quro, Syekh
Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama
Syekh Quro. Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin
adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh
Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai
utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan
menumpang kapal yang dipimpin Laksamana
Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit.
Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng
Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang.
Sementara rombongan lain meneruskan
perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para
pengiringnya turun di Karawang dan menetap di
kota ini. Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah
dengan gadis setempat yang bernama Ratna
Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng
Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin
kemudian membuka pesantren yang diberi nama
Pesantren Quro yang khusus mengajarkan
Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari
Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.
Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama
besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain
Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa,
penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota
pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon.
Puteri Subang Larang inilah yang kemudian
menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa
kerajaan Sunda Pajajaran. Kesuksesan Syekh
Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah
karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan
penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan.
Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada
masyarakat yang saat itu berada di bawah
kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran
Hindu. Karena sifatnya yang damai inilah yang
membuat Islam diminati oleh para penduduk
sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang
pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh
Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren
pertama di tempat ini. Ditentang penguasa
Pajajaran Berdirinya pesantren ini menuai reaksi
keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab
Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya
perkembangan ajaran Islam membuat para resi
ketakutan agama mereka akan ditinggalkan. Berita
tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung
Pura yang merupakan pelabuhan Karawang
rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena
kekhawatiran yang sama dengan para resi, ia
pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah
ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara
Jati di Cirebon. Sebagai langkah antisipasi, Prabu
Angga Larang kemudian mengirimkan utusan
untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin
oleh putera mahkotanya yang bernama Raden
Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat
tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh
suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran
yang dilantunkan Nyi Subang Larang. Putra
mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja
Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu dengan
segera membatalkan niatnya untuk menutup
pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang
Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima
oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya
haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang
ada di Mekah. Pernikahan antara Raden Pamanah
Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun
kemudian dilakukan di Pesantren Quro atau yang
saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh
Quro bertindak sebagai penghulunya. Menyebar
santri untuk berdakwah Tentangan pemerintah
kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro
mengurangi intensitas pengajiannya. Ia lebih
memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat
berjamaah. Sementara para santrinya yang
berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk
menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain.
Salah satu daerah tujuan mereka adalah Karawang
bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke
Karawang Utara di daerah Pulo Kalapa dan
sekitarnya. Dalam penyebaran ajaran Islam ke
daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya
menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum
berdakwah menyampaikan ajaran Islam, mereka
terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini
dilakukan Syekh Quro mengacu pada langkah yang
dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari
Mekkah ke Madinah. Saat itu beliau terlebih
dahulu membangun Masjid Quba. Cara lainnya,
adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui
pendekatan dakwah bil hikmah. Hal ini mengacu
pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang
artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik."
Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga
telah mempersiapkan kader-kadernya dengan
pemahaman yang baik soal masyarakat setempat.
Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan
lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal
inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah
Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi
kondisi masyarakat serta sangat menghormati
adat istiadat penduduk yang didatanginya. Selama
sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh
Quro bermukim di Karawang. Ia dimakamkan di
Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang,
Karawang. Tiap malam Sabtu, makam ini dihadiri
ribuan peziarah yang datang khusus untuk
menghadiri acara Sabtuan untuk mendoakan
Syekh Quro. Belakangan masjid yang dibangun
oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian
direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk
joglo beratap dua limasan, menyerupai Masjid
Agung Demak dan Cirebon -- tetap dipertahankan.
Minggu, 30 November 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar