KH IMAM GHOZALI AHMAD (wali dari kota
angin Nganjuk)
MASA KECIL
Sejauh 23Km dari kota Nganjuk ke arah tenggara,
terdapat sebuah desa bernama Watudandang
Kec.Prambon, layaknya sebuah desa,
Watudandang bersuasana damai dengan
kehidupan warganya yang damai, diantara sekian
banyak warga tersebut ada sebuah keluarga kecil
yang bahagia, Bapak Ahmad adalah kepala
keluarga tersebut,dan Nyai maisyaroh adalah istri
baeliau, kebahagiaan keluarga ini semakin nyata
ketika pada tanggal 4 Agustus 1927 M, lahir
seorang bayi laki-laki yang sangat di dambakan
kelahirannya, dengan harapan yang menyala, bayi
itu diberi nama Muhammad Yazid.
Roda waktu terus bergulir cepatdari hari berganti
minggu, minggu hilang berganti bulan, dan bulan
pun berganti tahun, yang akhirnya Muhammad
Yazid pun semakin gesit dan lincah. Seperti
layaknya anaak kecil, ia pun suka bermain
dengan teman sebayanya, dikala asyik bermain,
tanpa kesengajaan tangan kanannya tergores
benda tajam sehingga menyebabkan luka dan
akibatnya ia menderita sakit sampai
berkepanjangan. Beberapa tabib telah dimintai
pertolongan, namun sakit yang dideritanya belum
juga berkurang. Atas kesepakatan keluarga nama
Muhammad Yazid diganti Imam Ghozali.
Alhamdulillah sakit Muhammad Yazid dengan
nama barunya “Imam Ghozali”.
Tampak kembali wajahnya Imam Ghozali yang
selalu gembira dan lucu, ia pun dapat bermain
lagi dengan teman sebayanya. Bahagia kembali
menyelimuti dirinya, begitupun ayah bundanya
yang sangat sayang padanya. Namun disaat ia
larut dalam kasih sayang kedua orang tuanya, ia
ahrus mengalami kenyataan pahit karena
ditinggal pergi Ibundanya untuk selamanya.
Betapa pilu dan sendunya, suasana kelabu
merundung keluarga Bapak Ahmad, Ibu
Maisyaroh berpulang ke rahmatulloh.
PETUALANGAN DALAM MENGGALI ILMU
Tempaan jiwa, kesabaran, ketabahan, ketekunan,
keuletan, kemauan keras serta dorongan dari
ayahnya mengantarkan Imam Ghozali untuk
menimba ilmu agama, dan tempat pilihan untuk
menngali ilmu adalah pondok Sangrahan di
bawah asuhan Bapak K.H.Abdul Mu’id pada
tahun 1942 M.
Tanpa terasa 6 tahun sudah mondok di
Sangrahan, kemudian di tahun 1947 M,
meneruskan belajar di PON-PES LIRBOYO.
Dengan metode pendidikan yang sistematik dan
rapi serta lingkungan yang agamis membawanya
untuk lebih menekuni ilmu-ilmu yang diberikan
guru serta Kyainya.
Ketekunan dan kedisiplinannya juga diiringi
dengan melakukan riadhoh, diantaranya makan
daun ketela selama satu tahun, puasa daud
(sehari puasa sehari tidak) serta membaca Al-
Qur’an dan Dalail tidak pernah absen. Selain itu
beliau juga pernah puasa membisu selama satu
minggu atas perintah dan nasihat gurunya.
Disampin riadhoh beliau sering kali berziarah ke
makam Ulama’ dan makam para Wali diantaranya
:
K.H. Ma’ruf Kedunglo Kediri
K.H. Abu Bakar Bandar Kidul Kediri
Ke makam Batu Ampar Madura
Ke pemakaman Setonogedong Kediri setiap
malam jum’at, dll.
KEISTIMEWAAN – KEISTIMEWAAN YANG
DIMILIKINYA
Tercatat bahwa Imam Ghozali adalahseorang
yang rajin dan disiplin, semua kegiatan sehari-
haridilalui dengan jadwal yang dibuatnya. Setiap
jam 12 malam beliau bangun untuk melakukan
sholat sunnah dan menghafal Alfiah Ibnu Malik
sampai subuh. Begitulah cara beliau menghafal
dan mendalami Alfiah Ibnu Malik, sampai
akhirnya bait demi bait yang bejumla seribu
nadzom dapat di kuasainya dalam waktu 28 hari,
bertepatan di bulan Romadlon.
Beliau juga memiliki sifat sederhana dan tabah
dalam menghadapi segala cobaan. Pada saat
masih menempuh masa pendidikan beliau
menderita seraangan penyakit jantung, kendati
demikian semua pelajaran selalu dihafal dan
difahaminya.
Alkisah disaat mondok di Pon-Pes Lirboyo beliau
mempunyai keistimewaan- keistimewaan
tersendiri. Konon beliau pernah ditangkap
NIPPON(tentara Jepang) pasalnya ada santri
yang mengintip markas NIPPON yang berada di
gunung Klotok dan kepergok salah satu pasukan
Jepang . tanpa ambil pikir panjang santri tersebut
mengambil langkah seribu menuju Pondok
Lirboyo, pasukan NIPPON pun melakukan
pengejaran dan pencarian di Pondok Lirboyo,
sungguh tak diduga, dalam pencarian itu Imam
Ghozali lah yang ditangkap dan ditahan karena
mempunyai ciri-ciri yang sama(gundul), walaupun
sebenarnya bukan beliau yang melakukannya,
didalam tahanan ia dipaksa melakukan baris
berbaris (HEIHO), karena menderita penyakit
jantung beliau tak dapat menguasai dirinya dan
nyaris pingsan. Untunglah datang pertolongan
dari seseorang yang tidak dikenal dan orang itu
memberi sejumlah gula-gula yang kemudian
langsung dimakan oleh beliau, namun ketika
menoleh orang tersebut menghilang,
Alhamdulillah berkat rahmat Alloh SWT beberapa
hari dari hari kemudian beliau dikembalikan ke
Pondok Lirboyo karena dinyatakan tidak bersalah,
padahal pada zaman itu bila ada orang yang
tertangkap NIPPON tidak akan pulang dengan
selamat.
Sudah menjadi ciri khas Pondok Pesantren,
diadakan pengajian kitab kuning secara klasik
(Bandongan). Begitupun di Pon-Pes Lirboyo, juga
mengadakan pengajian kitab kuning, diantaranya
kitab “RIADUSSOLIHIN” yang diasuh oleh K.H.
Marzuki Dahlan (Alm) namun sangat
disayangkan, beliau waktu itu tidak mengikuti
pengajian tersebut sampai khatam sebab
penyakit jantung yang dideritanya semakin parah,
akan tetapi semangat beliau tetap menyala,
sehingga pada suatu malam beliau mengaji kitab
Riadussolihin tersebut bersama K.H. Marzuki
Dahlan. Ketika beliau terbangun dari tidurnya
sungguh-sungguh beliau dapat menguasai apa
yang apa yang terkandung didalamnya.
Pada waktu beliau berada di Pondok Lirboyo,
beliau pernah menjabat sebagai lurah pondok.
Diawal tahun 1957,beliau bersepakat dengan
rekan-rekannya memohon K.H. Marzuki Dahlan
agar berkenan membacakan kitab Ihya’
Ulumuddin. Tepat tanggal 25 Januari 1957,
pengajianpun digelar untuk pertama kalinya yang
langsung dibacakan oleh K.H. Marzuki Dahlan.
Sudah menjadi tradisi pondok Lirboyo apabila
santri yang sudah tamat dan mampu untuk
mengajar akan ditugaskan sebagai guru, sebagai
mana juga dengan beliau. Akan tetapi beliau
masih ingin memperdalam ilmu-ilmu yang
dipelajarinya, hingga akhirnya memutuskan untuk
pindah ke pesantren yang berada di Jampes
Kediri, namun di sana beliau juga diberi tugas
yang sama dan hanya bertahan selama tiga bulan
lalu memutuskan untuk kembali ke Lirboyo
hingga mengakhiri masa baktinya.
MENUJU PELAMINAN
Eksistensi manusia pasti tidak lepas dari kodrat
irodatnya Alloh SWT. Begitu juga beliau yang
sudah berusia tiga puluh tahun dipandang cukup
dewasa hingga akhinya datanglah masa menuju
jenjang pernikahan. Sebagai bakti kepada orang
tuanya pada tahun 1956 beliau mempersunting
Robi’ah (15 thn) putri K.H. Abdul Mu’id
(Sanggrahan). Namun sungguh semangatnya
masih berkobar, walaupun sudah berkeluarga
beliau masih ingin meneruskan pengajian kitab
Ihya’ Ulumuddin di Pon-Pes Lirboyo. Tetapi demi
naluri dan kehendak mertua, beliau pulang
(mengakhiri masa mondoknya) bersama
khatamnya kitab tersebut.
Tanggung jawab yang menghadirkan suasana
yang harmonis dalam keluarga bagaikan buah
karya sepasang tangan yang saling kait, saling
ikat, berat sama diangkat ringan sama dijinjing.
Tauladan pernikahan yang didasari dengan cinta
kasih dan izin Alloh SWT, sampai akhirnya beliau
dikaruniai putra-putri yang sholeh dan sholehah
sebagai berikut:
1. Khozihah (wafat).
2. Taslimatuddiniyah.
3. Rodliyah.
4. Badrus Sholeh (wafat).
5. Mushinatul Haulik (wafat).
6. Zainab.
7. Rohmatul Ummah.
8. Muthmainnah (wafat).
9. M. Zainal Arifin.
10. Imamul Muttaqin.
MERINTIS PERJUANGAN
Awal perjuangan,beliau berada dirumah mertua.
Disana sudah berdiri sebuah masjid dan satu
komplek pondok namun belum ada penghuninya
sama sekali. Kurang lebih tiga bulan kemudian
beliau mendirikan madrasah dan berhasil
menghimpun 35 anak, setelah kira-kira setahun
kemudian, seorang santri dari Cirebon yang
semula mondok di Lirboyo pindah ke tempat
beliau.Dengan berpacunya sumbu zaman
bertambah pula santri beliau, hingga pada tahun
1967 sudah berjumlah 175 santri dari 90 anak
yang mukim dan 85 anak yang nduduk (tidak
mukim)
Seperti perjuangan Rosululloh dalam menegakkan
agama Islam, beliau juga menemui banyak
cobaan dan rintangan. Akhirnya atas petunjuk
dan perintah gurunya, pada tahun 1967 beliau
pindah ke desa Tanjungtani yang terletak 1 Km
sebelah timur desa Sangrahan. Kepindahan
tersebut diikuti 145 santri(60 santri yang mondok
85 santri yang nduduk) sekaligus tempat diberi
nama “TEGALREJO”.
Dalam menjalani kehidupan di tempat baru,
keadaan beliau sangat memprihatinkan, namun
beliau tetap tabah dan bersabar, berkat
ketabahan dan kesabaran beliau, lambat laun
pondok pesantren pun semakin berkembang,
yang semula ladang pertanian(Tegalan), hingga
menjadi kota santri yang ramai(Rejo). Ibarat
pepatah kata “Sehelai Benang Lama-Lama
Menjadi Kain”, begitulah gambaran kehidupan
beliau dari penderitaan dan kesengsaraan
akhirnya ditemui pula kebahagiaan. Kebahagiaan
itu semakin terasa dikala beliau menikahkan putri
beliau yang pertama pada tahun 1975 dan di
tahun 1976 beliau beliau mendapatkan panggilan
untuk menunaikan ibadah haji serta ziaroh ke
makam Rosululloh SAW.
Dilain waktu ketika tidur, beliau mendapat kabar
bahwa pondok Tegalrejo akan dijadikan tempat
sidang Majelis Ulama’ seluruh Indonesia yang
dipimpin oleh almarhum K.H. Abdul Wahab
(Jombang). Beberapa hari kemudian beliau
mendapat kabar bahwa pondok Tegalrejo akan
dijadikan tempat sidang Majelis Ulama’ Se Jawa
Timur(tahun 1980). Beliau bersyukur ke hadirat
Alloh SWT, karena kabar yang beliau terima
menjadi kenyataan.
Jumat, 19 Juni 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar